Mereka Yang Tekun Mencari Akan Mendapatkan

Saat kita masih kecil, sering banget kita main petak-umpet. Ternyata dari permainan itu kita bisa belajar banyak. Kita belajar untuk tidak menyerah saat sedang kesulitan mencari-cari. Kita tetap tekun mencari terus hingga dapat.

Sebenarnya hal ini seharusnya berlaku juga ketika Tuhan (seolah-olah) diam. Saat Tuhan terasa jauh. Seolah-olah Ia membiarkan anaknya sendirian bergumul. Tidak ada seorang pun mengerti apa yang kita rasakan. Aku percaya semua orang pernah mengalami hal ini. Bahkan sebuah lagu (lama)-nya Don Moen yang kusuka itu ini, judulnya I Will Sing:

Lord, You seem so far away

A million miles or more, it feels today

And though I haven’t lost my faith

I must confess right now

That it’s hard for me to pray

But I don’t know what to say

And I don’t know where to start

But as You give the grace

With all that’s in my heart

I will sing, yes, I will praise, even in my darkest hour

Through the sorrow and the pain

I will sing, I will praise, lift my hands to honor You

Because Your word is true, I will sing

Tuhan seringkali tidak segera menjawab doa-doa kita, tetapi Ia encourages ourPERSISTENCE. Ia selalu ingin kita, anak-anaknya untuk mencari hikmatnya. Seperti tertulis di kitab Amsal 8: 18: Aku mengasihi orang yang mengasihi aku, dan orang yang TEKUN MENCARI aku AKAN MENDAPATKAN daku. 

Tahu gak hasilnya apa jika kita tekun?-> “Kekayaan dan kehormatan ada padaku, juga harta yang tetap dan keadilan. Buahku lebih berharga dari pada emas, bahkan dari pada emas tua, hasilku lebih dari pada perak pilihan.”

He invites us in the silenceto explore His character and LEARN of His will. He tells us to seek and we will find.

Karena setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, medapat, dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan! (Lukas 11:10)

Mari kita bertekun mencari hikmatNya. AMIN!

(Mungkin) Yesus Lupa: Sekali Lagi Tentang Cinta

Mungkin Yesus lupa—jika tidak bisa dibilang salah—ketika ia berkata, “Aku memberikan perintah baru kepadamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi.” Hey, tunggu. Tidakkah Ia lupa bahwa tidak ada yang baru dari pernyataan tersebut? Tidakkan ia lupa bahwa sekitar 1.400 tahun jauh sebelum Ia lahir, Musa telah menuliskan perintah ini? Perintah yang sama yang dapat kita lihat di dalam kitab Imamat? Apakah Ia lupa bahwa perintah untuk mengasihi sesama adalah perintah yang sangat dikenal oleh bangsa Yahudi sebelum Ia datang ke dunia? Apakah Ia lupa? Mungkinkah kali ini Ia salah?

Era yang kita hidupi ini, adalah era yang tidak pernah ada sebelumnya. kakek-buyut kita tidak pernah mengalami segala kemudahan yang kita alami di saat ini, terutama di sisi teknologi dan informasi. Informasi yang tersedia begitu masal dan mudah sekali diakses. Dengan hanya beberapa ketukan di papan tombol ponsel dan dalam waktu sepersekian detik kita dapat mendapatkan informasi yang kita butuhkan di internet. Asal, kita tidak malas mencari, menggunakan kata kunci yang tepat dan melakukan cek-ricek kembali informasi tersebut, dijamin puas akan hasilnya.

Benarkah semua informasi yang sudah kita dapatkan dengan cermat tersebut selalu benar? Saya tidak yakin. Ingat, beberapa waktu lalu ketika Indonesia memasuki masa-masa penting, yaitu saat masa kampanye pemilihan presiden, kita dengan mudah dibenturkan oleh oknum yang tidak ingin Indonesia hidup damai. Hanya dengan beberapa jurus akrobat kata dalam sebuah tulisan sudah mengakibatkan salah tafsir yang akibatnya membelokkan fakta, dan merugikan orang lain.

Kembali ke perkataan Yesus yang (mungkin) salah tadi, jika saya hanya menyebutkan sebagian saja dari keseluruhan pernyataannya maka saya mungkin sudah berhasil membuat beberapa orang setuju dengan pendapat saya bahwa Yesus (akhirnya pernah) lupa—jika tidak bisa dibilang salah.

Mari kita lihat kembali kejadian ketika Ia memberikan pernyataan tersebut.

Malam itu Yesus sedang makan bersama sebelum hari raya Paskah, tiba-tiba Yesus berdiri, menanggalkan jubahNya. Ia mengambil sehelai kain lenan dan mengikatkannya pada pinggangNya, kemudian Ia menuangkan air ke dalam sebuah basi, dan mulai membasuh dan menyeka kaki murid-muridNya satu-persatu! Muridnya terbengong-bengong melihat kejadian dramatis itu. Bagaimana tidak terbengong, bagi mereka Yesus adalah seorang Guru dan Tuhan! Bagi mereka Yesus adalah Tuhan si empunya segala kuasa di Sorga dan di bumi, namun kini mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri Ia rela membungkuk-bungkuk layaknya seorang petani yang menanam benih di sawah, ia membasuh kaki mereka semua di malam yang dingin itu! Sungguh membuat mereka kehilangan nalar. Belum hilang keterkejutan mereka, Yesus kemudian beberapa kali memberikan pernyataan-pernyataan yang memang baru mereka dengar malam itu, bahkan tentang hal-hal yang belum mereka pahami mengenai pertanda bahwa Ia akan meminum cawan terpahit selama hidupnya. Meski hanya Ia sendiri yang mengetahui bahwa saatnya telah tiba dan Ia harus segera kembali kepada BapaNya meninggalkan murid-muridnya. Namun ada satu pernyataanNya yang aneh malam itu, Yesus berkata, “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi.” Sebelum mereka protes dan mengerutkan alis sebab itu bukanlah perintah yang baru bagi mereka karena ribuan tahun sebelumnya Musa, nabi dan pemimpin mereka sudah menuliskannya, Ia melanjutkan, “Kasihilah sama seperti Aku yang telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi.” Inilah perintah baru itu! Inilah perbedaannya.

Mengasihi seperti Yesus itu maknanya lebih dalam dari sekedar saling mengasihi. Kasih Yesus kepada kita bukan kasih hubungan timbal-balik yang saling menguntungkan, sama-sama senang, sama-sama menang. Kasih Yesus tidak seperti itu. Kasih Yesus kepada murid-muridnya, dan kepada manusia itu kasih yang menyiksaNya. Kasih yang menuntut pengorbanan habis-habisan. Kasih yang menuntut untuk selalu memberi lebih besar dari keinginanNya sendiri. Paulo Coelho bahkan dengan jenius menggambarkannya seperti ini, “Even God has a hell: his love of mankind.” Bayangkan, kasihNya kepada manusia membuatNya seperti di dalam neraka! Ketika saya merenungkan ini, saya tidak bisa berhenti heran, membayangkan betapi cintaNya sungguh besar kepada manusia. Betapa perintahNya yang satu ini seringkali tidak dipahami dengan baik dan terlupakan. Mungkin karena tampak tak logis, tak manusiawi.

Sebelum Yesus mengatakan perintah ini, tidak pernah ada perintah untuk mencintai sesama dengan sangat spesifik seperti yang Yesus katakan ini. Perintah inilah yang mendefinisikan arti sebenarnya cinta sejati. Perintah inilah yang memberi perbedaan bagi kehidupan mereka yang mengenalNya. Perintah yang seringkali membuat pengikutNya tampak naif, dan bodoh bagi mereka yang melihatnya, bagi dunia. Perintah untuk mencintai tanpa syarat. Titik.

10422038_10152991643576211_3321151281867541096_n

—Jakarta, 10 Februari 2015. @3:38 AM.

Rest in the Present and Look Forward with Hope

Kemarin saya menulis di status Facebook begini, “Pencuri kebahagiaan kita hari ini adalah penyesalan masa lalu dan kekhawatiran masa depan”. Yang pertama, ketika menulis itu pikiran saya langsung teringat pada suatu waktu ketika saya mendapat undangan dari sebuah perusahaan untuk mengikuti seminar di Bangkok beberapa tahun yang lalu.

Jika tidak salah ingat kami mempunyai waktu 3 hari di Bangkok, menginap di hotel berbintang di pusat kota dan naik pesawat sekelas Singapore Airlines. Tapi tahukah kamu? Selama perjalanan berkelas tersebut saya sama sekali tidak bisa menikmatinya dan sekarang pun tidak bisa menyebutkan hal-hal bagus yang terjadi ketika itu. Kenapa? Karena pada masa-masa itu pikiran saya terfokus pada bisnis yang sedang tidak berjalan dengan baik, dan terutama tentang masa depan sayang yang tampak gelap gulita.

Setelah beberapa tahun barulah saya menyadari kekeliruan—jika tidak bisa disebut kebodohan—yang telah saya lakukan. Seringkali saya, dan kita semua, melakukan hal yang sama. Kita kehilangan kesempatan untuk menikmati hal-hal baik yang terjadi hari ini karena pikiran kita tidak sedang berada di ‘saat ini’, kita gagal mengendalikan pikiran kita untuk tidak mengkhawatirkan di ‘masa esok’. Akibatnya kita tidak pernah merasa bahagia. Kapan pun itu. Karena pikiran kita selalu ada di ‘masa esok’ yang kita tidak pernah tahu apa jadinya.

Karena masa depan yang penuh misteri inilah yang mungkin mendorong beberapa orang untuk melakukan hal-hal yang dapat ‘mengintip’ masa depan. Dengan bertanya kepada orang-orang ‘pintar’ atau orang yang mempunyai kemampuan ‘membaca masa depan’ dengan kartu-kartu apalah itu namanya. Untuk melihat masa depan, katanya. Dengan harapan kekhawatiran mereka sedikit berkurang.

Herannya, selama ini saya belum pernah mendengar mereka yang pernah ‘mengintip’ masa depan itu berkurang kekhawatirannya, yang ada malah mereka semakin kencanduan ‘mengintip’ masa depan. Karena ingin mendapatkan petunjuk yang lebih lengkap, lagi, lagi dan lagi. Nah, sekarang kita tahu mengapa orang-orang yang pintar ‘mengintip masa depan’ itu mendapatkan penghasilannya. 🙂

Yang kedua, pencuri kebahagiaan hari ini yang juga sering kita temui adalah penyesalan masa lalu. Pagi ini adalah hari yang absurd bagi saya. Pada saat hampir bersamaan saya memberikan ucapan selamat kepada salah seorang sahabat yang mendapatkan gelar doktornya dan memberikan selamat kepada seorang sahabat yang akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri dari studi doktornya yang sudah bertahun-tahun belum diselesaikan. Terlepas dari hasil yang berbeda itu saya tetap menaruh hormat kepada kedua sahabat saya yang telah melalui ujian tersebut.

Kemudian saya melihat diri saya di depan cermin.

“Kamu, sekolahnya kapan?” pertanyaan itu muncul dari sosok yang ada di dalam cermin kepada saya.

“Aku dulu pernah kuliah sarjana, tapi tidak sampai selesai. Lalu kamu mau apa?”

“Gak nyesel?”

“Pernah sih nyesel, tapi sekarang sudah enggak,” jawabku percaya diri.

“Serius? atau hanya usaha mencari pembenaran?”

“Serius. Tahu gak? Karena aku gak pernah lulus inilah yang membuatku harus belajar setiap saat. Karena bagi beberapa orang, mendapatkan ijasah adalah alasan supaya tidak lagi belajar. Sedangkan aku? Karena tidak pernah punya ijasah, jadi tidak punya alasan untuk berhenti belajar, kan?”

“Ah gombal, lu!”

Saya tertawa nyengir. Saya sudah membiasakan diri untuk tidak mengingat-ingat semua hal yang telah terjadi di hari kemarin. Karena saya tahu hal itu akan merampas kebahagiaan saya hari ini.

Semua hal negatif itu memerlukan lebih banyak ruang di dalam pikiran kita, akibatnya manusia lebih teringat peristiwa-peristiwa negatif daripada yang positif. Sebuah contoh kecilnya adalah, kita lebih ingat peristiwa ketika kita kehilangan handphone seharga 2 juta Rupiah, daripada peristiwa ketika mendapatkan uang 2 juta Rupiah. Padahal kita mendapatkan gaji 2 juta Rupiah setiap bulannya, namun hal itu seperti terabaikan. Kita lebih menyesali kelalaian kita saat kehilangan handphone tersebut, dan selalu kita ingat terus-menerus.

Kebenaran lain yang saya pelajari hari ini adalah, bahwa Tuhan tidak pernah terkejut dengan apa yang sudah, sedang, dan akan kita lakukan di hidup ini. Karena dia Maha mengetahui segalanya, bahkan sebelum dunia ini direncanakan. Hebatnya lagi, Dia tidak pernah memerintahkan kita untuk selalu melihat kebelakang, dan menyuruh kita mengalami kesedihan yang mendalam. Karena Dia mengerti dan peduli semua hal yang kita hadapi, and He saved us. It’s time to move forward.

Sangat mudah menemukan pahlawan-pahlawan iman yang pernah gagal dalam hidupnya, dan rencanaNya dalam hidup mereka tetap berjalan sempurna. RencanaNya tidak pernah gagal hanya karena kebodohan kita di masa lalu. Rest in the present and look forward with hope. Nothing in your past can thwart God’s plan.

Seperti Paulus pernah menuliskannya dengan indah, “Aku melupakan apa yang telah di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di hadapanku dan berlari-lari kepada tujuan untuk memperoleh hadiah, yaitu panggilan sorgawi dari Allah dalam Kristus Yesus.”

5 Alasan Mengapa Impian Kita Belum Terwujud.

Mengenali hal-hal yang memerangkap impian kita— dan mengatasinya!

Sejujurnya, sebagian besar orang tidak pernah melihat impiannya terwujud selama hidupnya. Bukannya melonjak menembus awan, impian kita merana seperti pesawat rusak yang terpenjara di hanggar.

Selama perjalanan hidup ini, saya mencoba menjelaskan 5 alasan mengapa impian-impian kita belum terwujud:

1. Kita tidak punya nyali untuk bermimpi karena omongan orang lain.

Kita harus menjadi penuntun atas impian kita sendiri. Kita tidak boleh membiarkan orang lain menuntun impian kita. Biasanya, orang-orang yang tidak mengikuti impiannya tidak senang melihat kita yang sedang mengejar impian kita. Beberapa orang akan merasa tak berdaya terhadap dirinya sendiri ketika melihat kita berhasil, sehingga mereka mencoba untuk menyeret kita turun—agar sama seperti mereka.

Saat kita mendengarkan suara-suara dari luar diri sendiri, sebenarnya kita membiarkan impian kita dibajak. Pada titik tertentu, orang lain akan mencoba memberi batasan terhadap kemampuan kita dengan meragukannya.

Saat kita dikelilingi oleh kritik, kita harus menyadari bahwa jangan sampai hal tersebut membuat kita terjatuh lalu menyerah dalam menghadapi proses ini.

2. Kita terjebak dalam kebiasaan menetapkan hasil yang rata-rata.

Entah mengapa, menetapkan hasil rata-rata sudah menjadi standar kebiasaan. Dibutuhkan usaha ekstra, inspirasi berkepanjangan dan disiplin yang tinggi ketika kita mengharapkan hasil di atas rata-rata. Saat kita mencoba menaikkan pesawat impian, kita harus mampu mengatasi beban yang menghambatnya. Seperti gravitasi, masalah-masalah kehidupan terus-menerus menarik, berusaha membawa kita untuk menjadi manusia rata-rata.

Sebagian besar dari kita tidak mau membayar harga untuk mengatasi beban yang menghambat impian kita.

Awalnya kita mulai terinspirasi, namun seiring waktu kita mulai kelelahan. Meskipun tidak pernah berniat untuk meninggalkan impian kita, kita mulai membuat kelonggaran di sana-sini. Waktu pun terus berlalu, hidup kita menjadi biasa, dan impian kita menyelinap pergi.

3. Kita terhalang oleh kekecewaan masa lalu yang menyakitkan.

Dalam film Top Gun, Tom Cruise berperan sebagai Maverick, seorang penerbang muda, berbakat dan percaya diri yang bercita-cita menjadi pilot utama di Angkatan Laut AS. Di pembukaan film, Maverick menunjukkan bakat dan keahliannya terbangnya yang bisa mempertaruhkan keselamatannya. Di pertengahan film, keagresifan Maverick menimbulkan bencana. Pesawat mengalami musibah, membunuh sahabatnya.

Meskipun dinyatakan tidak bersalah atas kejadian tersebut, insiden tersebut menghantui ingatan Maverick. Ia mulai berhenti mengambil risiko dan kehilangan kepercayaan dirinya.

Saat berjuang mendapat kembali kepercayaan dirinya, ia mulai memikirkan untuk melepaskan impiannya. Bahkan insiden ini hampir menenggelamkan karir Maverick, namun ia akhirnya berhasil menemukan kembali kekuatan untuk terbang, memperjuangkan impiannya.

Sama seperti Maverick, banyak dari kita hidup dengan memori kegagalan yang tertanam dalam jiwa kita, dalam pikiran kita. Mungkin itu adalah kebangkrutan bisnis yang kita mulai dari awal, atau dipecat dari jabatan pekerjaan atau hal lainnya yang sangat mengecewakan.

Kekecewaan adalah kesenjangan yang terletak di antara harapan dan kenyataan, dan kita semua pernah mengalami kesenjangan tersebut.

Kegagalan adalah bagian penting dan alami dari kehidupan, tetapi jika kita ingin mewujudkan impian kita, maka, seperti Maverick, kita harus mengumpulkan keberanian untuk menghadapi kekecewaan masa lalu yang menyakitkan.

4. Kurangnya kepercayaan diri untuk mengejar impian kita.

Dreams are fragile. Impian kita sangat getas, mudah runtuh. Impian kita akan diserang dari semua sisi. Karena itu, impian tersebut harus dipasok dengan kekuatan ekstra dari kepercayaan diri.

Di masa Amelia Earhart, seorang wanita tidak seharusnya menerbangkan pesawat. Jika ia tidak memiliki keyakinan diri, ia takkan pernah mencoba menjadi pilot. Sebaliknya, Earhart percaya diri mengejar mimpinya, untuk usahanya tersebut ia mendapatkan pemenuhan diri serta ketenaran.

5. Kita kehilangan imajinasi untuk bermimpi.

Selama ribuan tahun, manusia bepergian di daratan: dengan berjalan kaki, dengan kuda-dan kereta, dengan lokomotif dan akhirnya oleh mobil. Berkat imajinasi Orville dan Wilbur Wright, kita sekarang lompat melintasi lautan hanya dalam hitungan jam. Dua bersaudaran yang imajinatif itu telah mengatasi ejekan dan keraguan untuk merintis penerbangan manusia, dan dunia tidak pernah sama lagi oleh karena alat ciptaan mereka. Pesawat terbang.

Kita sering mengecilkan diri hanya karena tidak pernah membiarkan diri untuk bermimpi. Kita terperangkap oleh realitas sehari-hari dan tidak pernah berani melampaui apa yang bisa kita lihat dengan mata. Imajinasi dapat mengangkat kita melampaui rata-rata dengan memberikan visi hidup yang melebihi apa yang sedang kita alami saat ini.

Impian menyuntik jiwa dengan energi serta memacu jiwa untuk meraih keagungan.

Jangan pernah berhenti bermimpi!

—Oleh John C. Maxwell.

Minta Mobil Yang Lebih Mahal

Pagi ini, Arne, anak saya bercerita lagi. Seperti biasa kisahnya selalu heboh. Saya menikmatinya, sesekali menimpalinya dengan bersuara, “Oya?”, “Wow!”, “Lalu?” namun mata dan pikiran saya tetap fokus ke jalan meskipun sudah mulai lengang karena musim mudik.

Tiba di depan pintu pagar tempat tinggal kami, tiba-tiba dia bertanya, “Pa, Arne ingin mobil yang lebih mahal dari ini.” Saya terdiam. Menginjak kopling dan mengganti persneling ke gigi nol.

“Kenapa?” tanya saya lebih lanjut.

“Pokoknya Arne ingin mobil yang lebih bagus dan lebih mahal. Arne nanti ingin kerja, punya banyak uang lalu membeli mobil yang lebih mahal,” sahutnya.

Mobil kami keluaran tahun 2006, sudah berumur 8 tahun, sejak ia kecil hanya tahu mobil ini. Seharusnya saya maklum dengan pertanyaan ini. Namun, saya melihat adanya kesempatan. Ya, kesempatan mulai mengajarkan kepada anak mengenai arti memiliki benda dan menjadi kaya.

“Arne, jika Arne besar dan punya banyak uang. Arne memang boleh saja membeli mobil yang lebih mahal. Tetapi kalo papa punya banyak uang, papa lebih senang menolong lebih banyak orang daripada membeli mobil lebih mahal. Toh, mobil ini masih bisa dipakai dan tidak pernah mogok di jalan.”

“Jadi, Tuhan lebih senang kita menolong banyak orang ya, pa?”

“Tentu saja,” jawab saya sambil tersenyum.

“Kalo begitu, nanti Arne ingin jadi arsitek supaya bisa bangun rumah buat banyak orang!”

Saya mengangguk sambil memberikan tanda jempol kepadanya.

Kemudian ia turun dari mobil, membawa tasnya, lalu masuk ke dalam rumah.

Saya tetap di dalam mobil, melanjutkan mendengarkan radio 103.8 FM, Brava Radio, yang sedari tadi berbincang mengenai pluralisme, percakapan Leonardo Ringo bersama Yenny Wahid, Director of The Wahid Institute.

Setiap keluarga memang harus mengerjakan Pekerjaan-Rumahnya masing-masing untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.

Interview di Bukik Bertanya (Bukik.com)

Berikut ini adalah interview saya dengan Bukik.com yang telah diposting dalam blognya beberapa waktu lalu. Silakan menikmati.

Ibarat seekor kuda, sosok yang satu ini ingin menjadi pelayan yang membawa ke tempat manapun yang Tuannya kehendaki. Menarik? Simak ceritanya

Saya mengenalnya di Twitter, setelah nyamber akun @Nulisbuku muncul “admin”nya yang belakangan saya tahu ternyata adalah salah satu pendirinya. @Nulisbuku adalah online self-publishing. Simpelnya, kalau punya naskah, kita bisa menerbitkan sendiri melalui kerja sama dengan @Nulisbuku. Saya beberapa kali bekerja sama dengan @Nulisbuku baik buat @IDcerita maupun buat pribadi.

Dulunya saya membayangkan pusatnya @NulisBuku di Jakarta, ternyata di Surabaya. Karena itulah, saya bisa kopdar dengan @Byotenega di Kompleks Toko Buku Toga Mas di daerah Pucang, Surabaya. Ngomong ngalor-ngidul. Saya semakin tertarik dengan model bisnis yang digunakan @NulisBuku sehingga mengundangnya untuk berbagi cerita di kampus (Waktu itu saya masih dosen di Psikologi Unair).

Waktu berjalan cepat. Belum sempat kopdar lagi. Cuma obrolan online. Sampai kemudian saya membaca posting-posting di blognya @Byotenega. Ada banyak kisah menakjubkan yang dituliskannya. Naik turunnya gelombang pasang surut kehidupan. Kita bisa belajar jatuh, dan lebih penting lagi, belajar bangkit setelah jatuh.  Kontan saja langsung terpikir buat menampilkannya di rubrik Bukik Bertanya. Dan inilah ceritanya…..silahkan menikmati

Tentang Identitas Diri 

Teman-teman saya biasa memanggil: Ega, Nama lengkap saya: Brilliant Yotenega. Seorang laki-laki yang lahir di Surabaya, 3 Juni 1978. Selama hampir 30 tahun besar di Surabaya dan sangat mencintai Surabaya, namun sekarang ‘terlontar’ ke Jakarta, tinggal bersama istri dan kedua anak saya.

Tentang Kejadian yang Mengubah Hidup

Ketika berumur 4 tahun, saya  pernah mengalami kecelakaan hebat, kecelakaan tunggal, karena kecerobohan saya. Saya berlari kencang dari dalam suatu perkantoran kakek saya di Banyuwangi. Saya berlari menuju pintu-pintu kaca, karena bentuk jendela dan pintu yang hamper sama, saya berlari kencang menerobos pintu tersebut yang ternyata adalah jendela kaca. Adegannya persis seperti yang dilakukan oleh Jackie chan di film-film-nya. Hanya saja ini kejadian yang sesungguhnya. Semua kaca remuk dan saya terluka parah. Andai saja ibu saya tidak segera mengangkat saya, sudah pasti pecahan-pecahan kaca yang masih tersisa di bagian atas jendela tersebut akan menimpa punggung saya. Dan… entah seperti apa kelanjutannya. Dari kejadian itu hampir setiap sudut di tubuh saya ada jahitan, jahitan paling lebar ada di kaki Kejadian tersebut membuat saya tidak bisa berjalan berbulan-bulan. Dari kejadian itu saya selalu mengingat bahwa saya telah ‘diselamatkan’ dari satu kejadian besar. Saya selalu melihat hidup saya sebagai suatu anugerah yang harus disyukuri.

Ruang Baca

Pada tahun 2001, saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari kuliah saya yang telah saya jalani selama 5 tahun. Sekarang saya menyadari bahwa itu salah satu keputusan emosional yang pernah saya ambil. Salah satu alasannya saat itu adalah saya sudah bisa mendapatkan uang dari hasil saya bekerja. ‘Darah muda’ saya juga ikut andil dalam pengambilan keputusan itu, saya terlalu sombong ketika sudah merasa bisa bekerja menghasilkan uang sendiri.

Di tahun yang sama, saya memutuskan untuk move-on dari patah hati. Hahahah, saya tidak tahu apakah ini termasuk yang pantas untuk dituliskan sebagai kejadian besar, namun bagi saya, kejadian ini adalah peristiwa besar yang juga ikut mempengaruhi perjalanan hidup saya di masa mendatang. Bayangkan saja, selama saya sekolah SD sampai dengan kuliah, saya hanya ‘naksir’ satu orang cewek, dan melakukan banyak hal untuk membuatnya menerima cinta saya namun pada akhirnya hal tersebut tidak pernah berhasil. Saya mungkin pantas dijuluki pecundang terbesar, hahah kidding. Namun dari perjalanan itu saya merasa belajar menjadi dewasa. Saya menjadi dewasa berdasarkan metode trial & error J

Saya membuat keputusan terbaik: Saya menikah dengan penuh keberanian. Sebelumnya, pada tahun 2002 saya memproklamirkan akan menikah pada tanggal 06-06-2006 dengan pacar saya saat itu. Dan seluruh dunia harus tahu itu J (Maksudnya, teman-teman dekat saya sudah saya beritahu tentang cita-cita saya pada saat itu) Dan seperti biasa saya dianggap hilang akal sehat. Pada tanggal 06-06-2006, saya tidak juga menikah. Karena bisnis yang sedang saya geluti ternyata tidak sesuai rencana. Namun, akhirnya saya tetap menikahi pacar saya (Sekarang telah menjadi istri :p) pada tanggal 10-11-2007. Tepat di hari Pahlawan, dan supaya nuansa heroik, kepahlawananya benar-benar terasa, saya menikah juga di gedung Hotel Orange (Hotel Mandarin, Surabaya) Lokasi yang sama yang digunakan simbol perjuangan oleh pejuang-pejuang Surabaya melawan Belanda pada tahun 1945. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme (Wikipedia)

Dari kejadian-kejadian dalam hidup, saya belajar bahwa kegagalan bukanlah akhir sebuah cerita.

Desember 2007, saya bangkrut. Semua jerih payah yang saya lakukan lenyap tak berbekas. Yang saya sesali adalah kejadian ini saya alami ketika saya sudah menikah dan istri saya sedang hamil. Kisah ketika saya bangkrut inilah yang saya ceritakan di buku saya yang berjudul “In the Eye of the Strom”

Pada 1 Maret 2008, saya merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan apa saja tanpa ijazah sarjana, dengan tujuan menabung supaya dapat mengumpulkan modal untuk mewujudkan cita-cita saya berikutnya yaitu: mempunyai perusahaan (Di industri penerbitan & buku) sendiri.

Pada 08-08-2008, istri saya melahirkan, saya menjadi seorang ayah. Perasaan ini tidak akan saya lupakan. Saya diberi ‘pekerjaan tambahan’ dari Tuhan dengan dititipkan seorang anak laki-laki yang harus saya asuh dan didik dengan benar. Saya merasa diberi kepercayaan oleh Tuhan untuk hal besar ini.

Pada 8 Oktober 2010, saya mendirikan perusahaan saya sendiri, dengan nama: nulisbuku.com. Di fase ini saya belajar banyak dari ratusan buku yang saya baca, saya bertanya ke puluhan orang, bagaimana mewujudkan sebuah ide menjadi nyata. Karena di Indonesia pada saat itu tidak ada perusahaan sejenis yang bisa kami jadikan benchmark. Di kejadian ini saya belajar bahwa: Sebuah impian layak untuk dikerjakan. Karena itu tagline perusahaan kami adalah “Publish Your Dream!”

Tumpengan

Dari semua kejadian yang saya alami, belajar banyak hal. Salah satunya adalah saya belajar untuk tidak menjadi sombong, kesombongan hanya menghasilkan kejatuhan. Saya belajar peduli dengan orang lain, Saya juga belajar menjadi berani. Saya ini orangnya penakut. Kata orang Surabaya saya ini ‘gocikan’. Saya bahkan sempat tidak berani naik pesawat. Dan sampai sekarang saya tetap tidak berani ber-bungy jumping’, mendingan saya makan sate kambing daripada melakukannya. :p

Dan saya ingin sekali belajar mempunyai hikmat, belajar bijaksana, dan saya tahu itu permintaan yang bodoh, karena kebijaksanaan tidak akan pernah tercapai sepenuhnya, ini pelajaran seumur hidup bagi saya.

Tentang Buku 

Iya benar, saya akan menerbitkan buku berjudul In the Eye of the Storm. Buku itu berisi tentang kisah nyata saya ketika mengawali perantauan saya di Jakarta. Setelah saya selesai menuliskan buku itu, saya berpikir bahwa kisah saya itu ternyata sebuah surat cinta. Iya, kisah tersebut adalah kisah cinta saya kepada istri saya. Hanya surat cinta tersebut berbeda dengan surat cinta pada umumnya. Jika penasaran, saya telah membagikan sebagian besar isi bukunya ke dalam postingan di blog saya, silakan baca, gratis, di byotenega.wordpress.com

Saya ingin siapa saja yang membaca buku saya akan merasa pandai, karena ternyata  ada yang lebih bodoh dari mereka. Saya ingin pembaca buku saya merasa lebih beruntung, karena ternyata ada yang lebih tidak beruntung dari mereka. Saya ingin pembaca buku saya mereka lebih berpengharapan dalam hidup, karena ternyata ada seseorang yang pernah berada di tengah-tengah badai pun masih memiliki pengharapan.

Tentang yang Dihargai 

Apa yang saya hargai dari diri saya?  Saya adalah seorang pelayan yang beruntung dan dikasihi Tuhan. Keluarga bagi saya adalah anugerah. Hadiah paling besar yang pernah saya terima. Bagi saya orang lain adalah teman seperjalanan dalam menjalani hidup. Dan jika saya ingin mencapai garis finish bersama-sama nanti, saya harus peduli dan mengasihi mereka.

Mengajar

Indonesia, saya pernah memikirkan pertanyaan ini: mengapa saya dilahirkan di Indonesia. Dan saya yakin bahwa Tuhan tidak pernah salah melahirkan saya di negeri ini, saya harus melakukan sesuatu untuk negeri ini, sekecil apa pun yang bisa saya lakukan. Saya adalah orang yang selalu menitikkan air mata setiap kali menyanyikan lagu Indonesia Raya saat sedang menyaksikan TimNas bertanding di Senayan. Selalu! Saya terlalu mencintai negeri ini dengan segala resikonya, termasuk resiko bertepuk sebelah tangan.

Bagi saya kehidupan adalah jatah waktu yang diberikan Tuhan di dunia. Saya ingin hidup sebelum mati, karena saya merasa banyak orang yang sudah mati ketika mereka masih hidup. Hidup ini adalah pertandingan marathon yang harus kita menangkan bersama-sama. Kita akan mencapai garis finish bersama!

Tentang Simbol Diri 

Saya ini kuda. Seekor kuda akan mengantarkan Tuannya ke tempat yang Tuannya kehendaki. Kuda adalah pelayan yang kuat dan setia.

Tentang Imajinasi Indonesia 2030 

Karena ini imajinasi, saya akan menggambarkan gambaran yang paling ideal yang pernah saya pikirkan. Saya akan melihat Indonesia menjadi Negara yang maju. Namun, permasalahan yang kita hadapi tetap sama, yaitu kesenjangan sosial yang masih lebar. Dan hal ini menyebabkan terjadinya konflik horizontal yang mengganggu keseimbangan Negara ini. Ini adalah Pekerjaan Rumah khusus yang harus dikerjakan dengan seksama.

Berdua

Dari menjadi Negara berkembang menuju ke Negara maju dibutuhkan lebih dari sekedar kepandaian & skill yang baik, namun juga hikmat untuk berperilaku sebagai Negara maju. Di tahun tersebut penduduk Indonesia masih belajar dari menjadi masyarakat yang konsumtif menjadi masyarakat yang produktif. Dan hal itu membutuhkan waktu bertahun-tahun bagi penduduk Indonesia untuk menjalani hidup dengan bijak.

Dengan segenap kemampuan yang saya miliki, saya ingin ikut serta dalam program pemerintah yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini adalah Pekerjaan Rumah yang sangat besar bagi Negara yang berpenduduk lebih dari 230 juta jiwa ini. Karena itu salah salah satu misi perusahaan kami adalah menyebarkan ‘virus’ membaca dan menulis di seluruh Indonesia. Kami sekarang sudah mempunyai komunitas Nulisbuku Club di beberapa kota di Indonesia, yang berperan aktif untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya membaca dan menulis. Terutama menulis buku.

Saya harapkan dengan meningkatnya budaya membaca dan menulis, Indonesia akan menjadi Negara besar yang berhikmat.

Tentang Judul Biografi 

Judulnya: “Biografi seorang pelayan: Ketika aku lemah, maka aku kuat.”

Tentang Hal Konyol

Saya menabrak kaca hingga remuk, ketika tidak ada seorang pun sedang mengejar saya.

Mengapa Harus Menulis dan Menerbitkan Buku?

Mengapa kita menulis buku?

Sejak jaman nenek moyang, tidak pernah ada yang memberikan wangsit atau pewahyuan bahwa semua orang sebaiknya harus menulis buku, minimal satu buku selama hidupnya. Tidak ada. Juga, tidak ada yang akan memberikan denda kepada kita jika tidak menulis sebuah buku pun selama kita hidup.

lalu mengapa tiba-tiba saya ingin menulis buku tentang hal ini? Apa untungnya menulis buku bagi kita? Apa untungnya bagi keluarga kita? Atau jika lebih besar lagi, apa untungnya bagi bangsa Indonesia?

Akan saya jelaskan. Pertama kali kita harus samakan persepsi dengan arti kata untung. Jika keuntungan bagi Anda adalah berupa uang. Jawabannya bisa iya dan bisa tidak. Karena menulis sebuah buku mungkin saja tidak bisa mendapatkan uang banyak dan cepat. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa jika buku kita laris manis di pasaran, kita akan dengan segera menjadi miliarder dan menjadi selebritis yang terkenal seantero jagat raya. Layaknya J.K Rowling, penulis kisah Harry Potter itu.

Apabila arti keuntungan bagi Anda tidak hanya sekedar uang, maka saya bisa menjawab dan menjelaskan banyak hal mengenai keuntungan menulis sebuah buku.

Saya tidak suka menjanjikan hal-hal yang terlalu berlebihan, maka saya akan menjelaskan keuntungan yang realistis dan pasti bisa dirasakan oleh penulis sebuah buku.

Saya akan memulai menjelaskannya dengan sebuah cerita mengenai buku yang sudah saya tulis.

Buku pertama yang saya tulis adalah buku kumpulan cerita pendek yang ditulis keroyokan. Buku tersebut adalah kumpulan postingan notes di Facebook dan uniknya buku itu menggunakan bahasa suroboyoan, bahasa yang saya gunakan di kampung halaman. Ketika itu adalah tahun-tahun awal saya merantau di jakarta. Merasakan sedikit culture shock di ibukota, saya rindu bahasa suroboyoan. Maka saya postinglah kisah sehari-hari yang saya alami saat merantau dengan bahasa suroboyoan. Hasilnya? Banyak teman-teman Facebook saya menanggapi dengan antusias.

Bahkan saya berkenalan dengan teman-teman lain dari Surabaya yang kebetulan merantau. Dan terkumpul 8 penulis yang juga perantau di 5 negara, berada di 6 kota, dan bersepakat membukukan tulisan-tulisan tersebut menjadi sebuah buku yang unik. Oh ya, supaya bisa dinikmati oleh lebih banyak orang maka kami juga menterjemahkan tulisan berbahasa Suroboyoan tersebut menjadi tulisan berbahasa Indonesia, jadi buku itu bilingual. Dua bahasa. Bahasa Suroboyo dan Bahasa Indonesia.

Tahukah bagaimana perasaan saya ketika memegang cetakan buku pertama tersebut? Rasanya luar biasa! Sungguh. Sampai-sampai saya membawanya tidur selama beberapa hari. Sebagai orang awam yang suka membaca buku, saya merasa gembira bercampur bangga ketika mendapati tulisan sendiri tercetak di lembar-lembar halaman. Sejak saat itu saya ingin sekali membagikan perasaan sukacita tersebut kepada banyak orang.

Judul buku saya yang pertama itu adalah ‘Merantau + Whatever’ dengan tagline: “Curhat Colongan: 8 penulis. 2 bahasa. 5 negara. 6 kota. 70 kisah. 2 cover. 1 buku.” Panjang ya? Buku tersebut kami jual hanya melalui online, dan kami terbitkan secara mandiri (self-publishing). Kami bahagia, setidaknya selama beberapa bulan tersebut kami menikmati sensasi mempunyai buku sendiri. Disamping bahagia karena berkarya dengan proyek tersebut akhirnya kami mendapatkan teman-teman baru, sampai sekarang pun kami masih saling sapa di Facebook. Dengan menerbitkan buku, kita mendapatkan teman dan relasi baru. Sungguh menyenangkan, bukan?

Buku saya yang kedua, adalah berjudul ‘In the Eye of the Storm’. Buku tersebut saya tulis setelah dua tahun saya mendirikan perusahaan online selfpublishing nulisbuku.com. Mengapa saya menulis buku itu? Begini. Yang pertama, saya benar-benar ingin menulis sebuah buku sendiri, tidak kolaborasi seperti sebelumnya. Keinginan tersebut sudah lama terpendam. Di nulisbuku.com, setiap kali saya menjadi ‘provokator’ bagi teman-teman supaya segera menulis dan menerbitkannya menjadi buku padahal saat itu saya belum mempunyai buku sendiri. Sebenarnya saya malu. Awal tahun 2013, saya berjanji dengan diri sendiri bahwa proyek menulis buku harus segera dimulai. Itu alasan pertama, saya sudah ingin sekali menerbitkan buku sendiri.

Alasan yang kedua, menurut saya alasan ini lebih melankolis. Ketika itu hampir memasuki tahun kelima saya merantau di ibukota Jakarta, dan sudah dikarunia dua orang anak; yang pertama bernama Arne, 5 tahun dan yang kedua, Ezee, 10 bulan. Saya membayangkan ketika anak-anak sudah besar nanti, saya ingin mereka mengetahui sejarah orangtua mereka merantau ke jakarta. Saya ingin mereka mengetahui dengan detail latar belakang dan segala pergumulan kedua orangtuanya ketika memutuskan untuk merantau. Saya ingin mereka mempunyai gambaran yang jelas mengenai hal tersebut. Alasan yang sangat personal. Dan, alasan itulah yang memotivasi untuk segera menyelesaikan tulisan tersebut dan menerbitkannya secara mandiri.

Akhirnya saya pun menuliskan kisah tersebut selama 11 hari. Hingga selesai. Setelah menuliskan kata terakhir dalam buku tersebut, tahukah Anda bagaimana rasanya? Luar biasa! Saya tidak berusaha melebih-lebihkan tentang hal ini, tetapi saya benar-benar merasakan kegembiraan yang sama ketika berhasil menulis buku yang pertama. Bahkan, kali ini kegembiraan dan kelegaan itu lebih besar karena saya berhasil mengalahkan diri sendiri. Mengapa saya berkata berhasil mengalahkan diri sendiri? Iya, banyak hal yang ingin saya lakukan biasanya terhalang oleh ketidakmauan diri sendiri, oleh kemalasan diri sendiri, bukan karena ketidakmampuan kita.

Setelah buku kedua saya terbit banyak sekali respon yang saya terima melalui email. Feedback yang saya terima lebih dari yang saya berani bayangkan. Beberapa orang yang belum saya kenal memberikan tanggapan dan berterima kasih karena kisah yang saya tulis sudah membuat mereka lebih bersyukur akan hidup yang mereka miliki. Bagi saya, respon mereka itu lebih dari cukup. Saya sungguh senang dan bersyukur dapat memberikan kontribusi kecil untuk kehidupan ini. Buku tersebut kini sudah bisa didapatkan di nulisbuku.com.

Salah satu penulis besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer pernah berkata, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” juga ia berkata, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Semoga kutipan tersebut mengingatkan kita untuk segera menulis dan menerbitkannya menjadi buku.

Saya mempunyai satu saran yang manjur untuk memulai menulis: Mulailah menulis mengenai segala sesuatu yang Anda sukai dan Anda ketahui dan alami. Hal ini manjur bagi saya, dan berharap manjur juga untuk Anda.

Mari berkarya!

Seseorang Yang Kupanggil Nenek

The difference between truth and fiction is fiction has to make sense.

Sejujurnya saya sedang mengalami kesulitan menulis sebuah novel. Kesulitan untuk menuliskan sebuah kisah yang menurut saya harus ditulis. Kisah yang harus diketahui oleh anak-cucu kelak. Kisah ini sudah terpendam bertahun-tahun. Namun tetap saja saya belum menulis satu katapun untuk memulainya. Bukan karena saya tidak mengatahui bagaimana memulainya, saya bahkan sudah tahu bagian awal dan bagaimana mengakhirinya nanti. Yang membuat saya kesulitan adalah saya takut kisah ini terlihat tidak masuk akal untuk sebuah kisah nyata.

Pertama kali mendengarnya dari keluarga, membuat saya tidak bisa mengusir kisah ini dari dalam kepala begitu saja. Kisahnya membuat saya melihat dunia dengan cara yang sama sekali berbeda. Lebih daripada semuanya itu, kisah ini memberikan saya gambaran yang jernih mengenai arti kata kesetiaan.

Ini kisah mengenai seseorang yang sejak kecil saya panggil mbah, atau nenek dalam bahasa Indonesia. Namun setelah beliau meninggal dunia, kemudian saya mengetahui satu fakta yang mengejutkan. Ternyata beliau bukanlah nenek saya seperti yang selama ini saya anggap. Sedikit membingungkan, namun ada yang lebih membingungkan lagi bagi saya, bahwa ternyata nenek saya tersebut seorang pembantu rumah tangga dari keluarga kakek-nenek saya yang sebenarnya di Solo. Sebuah pertanyaan muncul, pertanyaan yang membuat saya berhasrat untuk menulis tentang siapa sebenarnya nenek saya ini.

Bagi kami ia bukan seorang pembantu rumah tangga biasa, ia seorang yang sangat dihormati di keluarga besar kami. Ia adalah seseorang yang berani melepaskan segala keinginannya untuk menyelamatkan sebuah keluarga yang ditinggalkan oleh sang pemilik karena kedua suami-istri, yang juga majikannya—atau kakek dan nenek saya yang sebenarnya— tersebut meninggal dunia di usia yang masih muda, dan meninggalkan 5 orang anak yang masih kecil. Tiga anak perempuan dan dua orang laki-laki. Anak yang keempat adalah ayah saya.

Setiap kali mendengar kisah pengorbanan yang telah dilakukan oleh ‘nenek’, saya selalu menggeleng-nggelengkan kepala. Bagaimana mungkin ada seseorang yang ingin melepaskan segala kenikmatan di dunia demi menyelamatkan sebuah keluarga yang tidak ada hubungan darah sama sekali dengan dirinya. Betapa ia sanggup dengan rela untuk melepaskan kebebasan yang dimiliki demi mengikatkan diri kepada satu keluarga miskin di kota Solo. Bagi saya ia tidak hanya sudah menyelamatkan satu keluarga, bahkan satu generasi.

Ia melakukan perbuatan yang selama ini hanya bisa ditemui dalam tokoh fiksi, beliau adalah seorang pelayan yang telah mengabdi sejak umur 9 tahun hingga akhir hayatnya, seorang pemimpin keluarga, seorang sahabat, seseorang yang menolak cinta dari pria yang memberinya kesempatan untuk mempunyai rumah tangga sendiri demi untuk tetap bersama dengan keluarga kami, seorang yang selalu membuat kami bangga karena pernah diasuhnya. Seseorang yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah namun wawasan dan kebijaksanaannya membuatnya dihormati. Seseorang yang mengambil jalan kebahagiannya sendiri, jalan yang kini jarang dilalui oleh para wanita di jaman modern dan materialis ini.

Hingga akhir hayatnya tidak ada seorang pun yang tahu kapan tepatnya ia dilahirkan. ia tidak pernah berulang tahun. Ia tidak pernah memintanya. Ketika usia menggerogoti kesehatannya —di umur yang kami perkirakan sekitar 89 hingga 92 tahun, hanya satu permohonannya kepada Tuhan yang sempat kami dengar dalam doanya. Ketika ia terbaring lemah tak berdaya di atas ranjang, ia mengucap lirih dalam bahasa Jawa, “Gusti, mbok kulo dipun pundhut.”— Tuhan, segeralah ambil (nyawa) saya ini. Doa singkat yang membuat mulut kami yang mendengar menjadi terkunci dan berusaha keras untuk tidak meneteskan air mata. Ia telah menjadi malaikat penolong yang dikirim Tuhan bagi keluarga kami ketika melewati badai besar yang memporak-porandakan sebuah keluarga. Wanita ini bernama sederhana. Hanya satu kata saja. Salinem. Nama khas orang jawa.

Hingga hari ini, saya masih kesulitan menuliskan kisahnya menjadi sebuah novel. Saya kesulitan menuliskannya tanpa terlihat melebih-lebihkan. Saya takut kisahnya terlihat seperti drama yang terlalu klise. Ketakutan terbesar adalah ketika kisah ini akan tampak tidak masuk akal. Walaupun suatu realita jika dituliskan seringkali terlihat tidak masuk akal. Prinsip sebuah sebuah kisah fiksi yang baik adalah kisahnya harus dapat diterima di akal. Menurut saya kisah ini sendiri sudah sulit diterima di akal saya.

Kemudian, sedikit keberanian terselip di dalam diri saya, ketika menyadari bahwa kisah Salinem ini adalah nyata, bukan fiksi. Saya kemudian sadar bahwa sudah sejak ribuan tahun yang lalu sebuah kisah nyata seringkali dianggap sebagai mitos atau fiksi oleh manusia. Karena kebenaran itu seringkali terlihat tidak masuk di akal manusia yang berotak cerdas. Untuk mempercayai sebuah kebenaran dibutuhkan sebuah lompatan iman, yang disebabkan keterbatasan volume otak manusia.

Semoga saya bisa menyelesaikan kisah Salinem ini hingga kalimat terakhir.

What is the Biggest Mistake a Leader Can Make?

Adalah mustahil membicarakan segala sesuatu tentang entrepreneur tanpa membicarakan kepemimpinan. Berita baiknya adalah ilmu kepemimpinan itu bukan dilahirkan, dan tidak bergantung kepada karisma atau bahkan penampakan seseorang, cakep atau tidaknya, menurut tinggi badan, tebalnya kumis atau banyak-sedikitnya warisan yang ia miliki. Kepemimpinan adalah ilmu yang bisa dipelajari oleh siapa saja, sama seperti ilmu-ilmu lainnya. Tidak bergantung kepada apakah ia sekolah atau tidak, seorang sarjana atau bukan. Tidak bergantung kepada label yang kita miliki atau banyaknya piala yang sudah kita raih. Kepemimpinan hanya bergantung kepada kemauan kita belajar dan menerapkannya. Setiap hari.

Mengapa ada banyak pemimpin yang gagal dalam memimpin? Menurut saya hanya ada dua alasan, yang pertama, seseorang pemimpin yang tidak pernah belajar ilmu kepemimpinan, dari buku, seminar atau langsung dari seorang mentor, tipe ini menurut saya masih bisa ‘diselamatkan’; yang kedua, seorang pemimpin yang merasa sudah belajar ilmu kepemimpinan namun tidak pernah menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tipe terakhir ini lebih sulit diselamatkan, disebabkan karena kebebalannya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Bebal artinya sukar mengerti; tidak cepat menanggapi sesuatu (tidak tajam pikiran); bodoh.

Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Inc. (the Magazine of Growing Companies) edisi September 2013 tentang kesalahan terbesar yang dilakukan oleh seorang pemimpin adalah, 1. Pemimpin yang mencoba memberikan perintah tanpa ia berada di garis depan dalam memberi contoh (bossy); 2. Kurangnya kerendahan hati dan kegagalan dalam mendengar; 3. Kurangnya kepedulian terhadap yang dipimpin dan tidak pernah berbagi kesuksesan; 4. “Believing your own bullshit.” (silakan mengartikan sendiri maknanya)

Sayangnya survey tersebut dilakukan di luar Indonesia. Jika sebuah survey dilakukan di sini tentang faktor yang disukai dari seorang pemimpin, mungkin faktor ‘galak’, kaya raya, gagah, ganteng, kecakapan berbicara, banyaknya follower (Twitter), atau bahkan ‘keunikan-keunikan’ lainnya akan muncul sebagai faktor penting dalam kepemimpinan; seperti jelinya menemukan jenis goyangan? goyang gajah—sebagai ganti goyang itik; misalnya. Karena, konon di Indonesia, segala sesuatu yang unik itu lebih disukai. Siapa tahu?

Selamat memilih pemimpin yang unik.

Teori Konspirasi, Serius?

Mereka yang berteriak-teriak bahwa Indonesia sedang dikuasai oleh sebuah teori konspirasi dunia itu seperti seseorang yang sedang di bawah pancuran air dan berteriak,”Aku basah! kita basah! Negara ini sudah basah kuyup dan hampir tenggelam!” Dan, berharap orang lain mendengarkan dan mengikutinya.

Teori konspirasi dunia tersebut bukan berarti tidak ada. Tentu saja ada karena itu hanyalah sebuah sistem yang diciptakan oleh orang-orang di dunia. Sama seperti sebuah rumah, pasti akan mempunyai aturan-aturan sendiri yang bertujuan untuk mengatur segala sesuatu supaya semua berjalan dengan baik dan teratur. Pertanyaan yang paling penting adalah apakah sistem tersebut mempengaruhi kita sekarang? Mungkin. Apakah mempengaruhi masa depan kita? Belum tentu. Karena ini pilihan. Kenapa pilihan? Karena kita diciptakan sebagai makhluk bebas. Manusia yang bebas berpikir dan bebas memilih masa depan tanpa dipengaruhi oleh siapapun. Siapa pun! Kecuali itu adalah keputusan kita sendiri.

Yang lebih menyedihkan lagi adalah banyak yang mempercayai bahwa ada sebuah kekuatan manusia yang lebih besar yang sedang mengatur dunia ini. Mengatur 7 milyar orang? 7 Milyar adalah angka yang sangat besar untuk jumlah orang, loh! Stadion Gelora Bung Karno saja jika terisi penuh hanya berisi 80.000 hingga 100.000 orang! Saya tidak bisa membayangkan betapa banyaknya jika 7 milyar orang berkumpul. Ayolah.., coba pikirkan baik-baik sekali lagi. Bagaimana cara sebuah sistem mampu mengatur 7 milyar orang yang masing-masing mempunyai kebebasan berpikir?

Saya percaya bahwa teori konspirasi, apalah itu namanya, hanyalah sebutan halus yang kita ciptakan sendiri —supaya kita tidak merasa malu dan kita tetap terlihat keren, dan istilah itu sebenarnya hanya menyatakan secara tidak langsung bahwa kita mengakui adanya seseorang di luar sana yang lebih pintar, lebih jenius, lebih kaya, yang sedang mengatur hidup kita dan tidak dapat kita kalahkan. Kita sudah mengaku kalah sebelum menggunakan semua akal dan pikiran kita. Singkatnya, kita sudah kalah sebelum bertanding.

Dan, yang terakhir, mungkin kita lupa bahwa Sang Pencipta kita tidak pernah tertidur dan tidak pernah lupa untuk memberikan pertolongan bagi siapa saja yang sedang membutuhkanNya. Bahkan sebelum kita memintanya. Apakah Dia diam saja melihat anak-anaknya menderita karena di atur oleh sebuah sistem, yang lebih berkuasa dari kuasaNya? Saya yakin tidak.

Bagi yang masih percaya ada sebuah sistem yang mampu mengatur 7 milyar orang di dunia ini, saya sarankan bertanya dahulu kepada ibu-ibu yang sering berganti-ganti asisten rumah tangga—beberapa orang menyebutnya, pembantu rumah tangga— silakan bertanya apakah gampang mengatur satu orang asisten— bahkan ketika semua yang ia minta —gaji tinggi, kebebasan bersosialisasi, uang saku pulang kampung—sudah diberikan?

Semoga jawaban ibu-ibu mengenai pertanyaan itu membuat kita berpikir ulang mengenai teori konspirasi yang mampu mengatur 7 milyar orang di dunia ini. Kecuali, kemampuan kita memang hanya untuk berteriak-teriak nyaring di bawah pancuran air dan malas melangkah supaya tidak lagi basah kuyup.

Semoga.